My Blog

Profesionalisme Arkeologi Masyarakat Trowulan

Posted in Uncategorized by arsiteknusantara on Mei 2, 2009

Oleh Tjahja Tribinuka, MT
Staff pengajar Jurusan Arsitektur ITS
Diterbitkan di harian Surabaya Post, Minggu 22 februari 2009

Terdapat banyak alasan yang mendasari sebuah kegiatan konservasi dari karya arsitektur. Kepentingan terhadap penelitian lanjutan yang mengindikasikan perkembangan ilmu tertentu adalah salah satu alasan betapa pentingnya karya arsitektur sebagai sebuah model riset. Namun demikian, kebanyakan karya yang berusia tua sudah tidak lengkap lagi bagian-bagiannya karena lapuk dimakan jaman. Menyikapi karya yang demikian membutuhkan telaah yang cukup mendalam disertai pertimbangan kepentingan berbagai segi ilmu. Sebagai contoh, sebuah bangunan yang runtuh sebagian dapat menjadi pelajaran bahwa sistem konstruksi tertentu memiliki ketidak-tepatan dalam pengujian antara stabilitas struktur dan berjalannya waktu.

Masyarakat lampau nusantara juga telah belajar dari arsitektur dari masa yang telah mendahuluinya. Relief candi Borobudur abad ke 8 memiliki bentuk yang cukup tajam, namun didapati bahwa ada beberapa bentuk hidung manusia yang patah. Selanjutnya relief candi Penataran pada abad ke 13 terlihat lebih datar, bentuk manusia menghadap ke samping sehingga hidung tidak perlu terpahat menonjol. Andai saja relief manusia di candi Borobudur diperbaiki hidungnya, maka kita tidak akan dapat melihat kesalahan dalam teknik pembuatan relief batu. Beberapa contoh pada tulisan selanjutnya akan mengambil contoh candi-candi di masa kejayaan kerajaan Majapahit di Trowulan.

Sebuah kegiatan konservasi yang dilakukan pada Candi Wringin Lawang, Trowulan, Mojokerto juga memerlukan kritik dan pertimbangan. Maksud baik untuk membuat replika salah satu sisi bentuk candi bentar yang runtuh, justru membuat kelemahan bagi penelitian konstruksi bata ekspos. Bentuk raksasa susunan batu bata yang terlalu ramping ternyata tidak demikian awet, namun jika pengunjung situs tidak terlalu awas, akan menganggap bahwa sistem ini tetap benar. Selayaknya rekonstruksi candi bentar dapat dilakukan dengan sistem kuno yang sama. Jika tidak mampu dilaksanakan barulah dibuat dengan konstruksi modern namun di lokasi yang lain, agar tetap terlihat mana yang otentik dan mana yang imitasi.

resize-of-2a

Gambar 2a. Candi Wringin Lawang di Trowulan, ketika ditemukan salah satu bagian sisi candinya roboh dan tinggal separuh. Kegiatan konservasi mengembalikan situs candi bentar ini utuh dua-duanya, dalam jangka waktu tertentu akan sulit dibedakan mana batu yang asli dan mana yang tambahan

Jika memang bentuk utuh yang dikejar, selayaknya penambahan baru dilaksanakan dengan membuat material yang lain. Misalnya dengan melengkapi konstruksi batu bata dengan bentuk yang sama, namun materialnya berbeda seperti beton, aspal dan lain-lain. Contoh lain menunjukkan kegiatan positif walau tanpa konsep seperti yang telah dijabarkan. Ada bagian kegiatan renovasi di Candi Brahu, Trowulan, Mojokerto yang dilakukan untuk memperkuat konstruksi rongga atas candi. Caranya dengan membuat cetakan benton bertulang, yang sampai sekarang masih terlihat sebagai benda tambahan, bukan asli.

resize-of-2b

Gambar 2b. Detail Candi Brahu di Trowulan, tambahan elemen konstruksi benton bertulang untuk memperkuat bagian atas rongga candi dibiarkan terlihat jelas. Membedakan mana konstruksi kuno dan konstruksi modern untuk tujuan konservasi. Beruntung beton bertulang ini tidak ditutupi kamoflase batu bata hingga mengaburkan keotentikan candi.

Konservasi merupakan kegiatan penting yang penuh aturan. Aturan tersebut selain didasarkan pada jenis obyek, juga pada kepentingan ilmu dan tingkat kerusakannya. Contoh lain adalah keberadaan candi yang tidak populer di daerah Watesumpak Mojokerto. Situs tersebut demikian mempriharinkan, yang tertinggal hanya seonggok tangga candi, lengkap dengan ukirannya. Pemerintah sudah tidak lagi mempedulikannya dan masyarakat justru mengelolanya untuk kepentingan pribadi lain. Di atas situs tersebut dijadikan makam keramat, pengunjung yang datang harus membayar untuk mengunjunginya. Penyelewengan seperti ini merupakan kejahatan yang sudah jelas ancaman hukumannya, namun tidak dijalankan.

resize-of-2c

Gambar 2c. Candi yang sudah rusak di Watesumpak, Mojokerto. Susunan batu bata purbakala sudah tertimbun tanah dan rerumputan. Di bagian atasnya ditanami pohon dan dijadikan makam keramat.

Biaya konservasi dan perawatannya memang selalu menjadi kendala. Tidak berhenti dari masalah ini, bahkan masyarakat yang memang sudah miskin berlomba-lomba memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi. Jelas bahwa kesadaran terhadap perlunya konservasi akan bertabrakan dengan kepentingan ekonomi. Walau demikian, tidaklah salah jika harapan mewujudkan cara mengkonservasi yang benar masih tetap diperjuangkan. Pelaksanaan program yang tidak melulu dari pusat pemerintah (top down) dapat dialihkan dengan program yang berasal masyarakat (bottom up). Bagaimanapun, sebuah situs bersejarah pasti memiliki potensi sebagai sarana pendidikan dan wisata yang dapat mendatangkan dana perawatan.

Masyarakat Trowulan bisa jadi masih mewarisi keahlian kriya masa lampau, di mana saat ini masih menjadi perajin ukir batu dan pengecoran logam. Pembinaan yang tepat dari lembaga yang terkait mengenai corak bentuk hasil kriya disertai pemasaran yang optimal hampir pasti akan membuat perubahan iklim ekonomi mikro di Trowulan. Para pembuat batu-bata yang hasilnya di jual murah dapat dialihkan dengan pembuat gerabah seni dalam konteks kerajaan Majapahit. Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat yang dapat langsung menyentuh kehidupan keseharian masyarakat di sekitar situs bersejarah perlu diberdayakan dengan lebih baik lagi.

Arsitektur Nusantara atau Arsitektur Indonesia

Posted in Uncategorized by arsiteknusantara on Maret 9, 2009

Oleh Tjahja Tribinuka, MT
Staff pengajar Jurusan Arsitektur ITS

Seringkali kata ‘Nusantara’ rancu dengan kata ‘Indonesia’. Selayaknya suatu kerjasama ilmiah berusaha terlepas dari unsur politik, yakni batas kekuasaan negara. Memang sulit melaksanakannya karena kata ‘nusantara’ sendiri sudah mengandung unsur politis sebagai wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit. Jika asal kata ini disepelekan dan dianggap hanya istilah saja, maka mudah-mudahan kerumitan ilmiah dapat terbebaskan.

gmb-j01Gambar 1. Peta wilayah aliansi kerajaan Majapahit

Para peneliti Inggris dan Belanda (Alfred Russel Wallace, dkk) pada abad ke 15 sampai 18 sudah melihat potensi besar dari wilayah kepulauan yang terletak di antara garis sub-kathulistiwa ini. para peneliti tersebut merekam segenap aspek kekayaan alam, binatang, manusia dan budayanya. Banyak buku ditulis dengan gambar-gambar situasi dan kondisi surgawi dari iklim yang sangat bersahabat bagi mahkluknya. Gambaran tentang keanekaragaman dan keunikan memukau yang mewarnai segenap wilayah arkipel tersebut.

gmb-j02Gambar 2. (Bukan Peta Negara Indonesia) Peta tahun 1800-an, wilayah penelitian Alfred Russel Wallace, dkk di kepulauan Hindia (Indian Archipelago)

Kepentingan kekuasaan menyebabkan wilayah Nusantara masa lampau terbagi-bagi menjadi daerah jajahan negara Inggris, Belanda, Spanyol dan Portugis. Demi kepentingan politis dan kekuasaan pula segala budaya setempat diakulturasikan, bahkan dipaksakan. Pemaksaan yang dapat bersifat memusnahkan budaya dan manusianya, untuk digantikan dengan budaya yang lebih sesuai dengan negara penjajah. Jika budaya tidak dimusnahkan, maka akan direndahkan agar dapat mendukung budaya penjajah yang ditetapkan mereka sendiri sebagai budaya yang lebih tinggi. Budaya yang asli dan tinggi di nusantara harus ditekan agar dipersepsikan sebagai budaya yang serendah-rendahnya.

gmb-j03Gambar 3. (Bukan Peta Negara Indonesia) Peta tahun 1800-an, pembagian wilayah jajahan oleh Inggris (warna jingga) dan Belanda (warna oranye). Negara Indonesia merdeka dan berdiri di atas ‘bekas’ imperium Hindia Belanda.

Dalam lingkup penelitian, wilayah nusantara (bukan karena wilayah aliansi Majapahit, tapi karena sub-khatulistiwa) meliputi negara Indonesia, Malaysia, Singapura, papua Nugini dan Philippina. Wilayah kamboja, Vietnam dan Thailand tidak termasuk nusantara karena terdeteksi sebagai bagian benua (bukan kepulauan) yang masuk ke batas sub-kathulistiwa, sama dengan sebagian wilayah Australia sisi Utara. Kerjasama arsitektur diantara beberapa negara inilah yang diharapkan bisa mendapatkan karakteristik dari kenusantaraan tersebut. Jika kenusantaraan tetap dipandang terbatasi dengan wilayah kekuasaan negara, maka dapatlah dicerna sebuah sudut pandang bahwa budaya asli telah berubah karena budaya penjajah, dan wilayah budaya dan negara Indonesia adalah wilayah ’bekas penjajah Belanda’. Hal ini sah-sah saja.

gmb-j04Gambar 4. Ilustrasi dari buku belanda tahun 1800-an, Sebuah masjid di tengah kota Solo, Jawa Tegah. Tidak harus beratap tajug dan bertumpuk seperti meru.

Jadi terserah bagaimana arsitektur itu mau diidentifikasikan. Jika identik dengan kata nusantara, maka penelitiannya akan cukup luas terhubung dengan sub-kathulistiwa dan mendalam ke masa lampau sebelum datangnya para penjajah. Jika identik dengan kata Indonesia, maka penelitiannya cukup sampai dengan wilayah negara kita saja, wilayah bekas jajahan Belanda. Jika menggunakan istilah arsitektur Indonesia, maka segala budaya kolonial Belanda di Indonesia harus dipertimbangkan sebagai faktor yang turut serta membentuk karakteristik arsitektur dan budaya masa kini.

Sebaiknya memilih ’Arsitektur Nusantara’ atau ’Arsitektur Indonesia’ ?

Mencari bentuk Ibukota Majapahit

Posted in Uncategorized by arsiteknusantara on Maret 9, 2009

Oleh Tjahja Tribinuka, MT
Staff pengajar Jurusan Arsitektur ITS
Diterbitkan di harian Surabaya Post, Minggu 15 februari 2009

Ibukota Kerajaan Majapahit yang terletak di Trowulan, Mojokerto merupakan obyek penelitian yang menyimpan misteri. Sampai dengan saat ini berbagai temuan baru telah membuat kontroversi peryataan yang mengoreksi temuan-temuan sebelumnya. Pada tahun 1983, Bakosurtanal membuat gambar tatanan kota majapahit berdasarkan foto udara. Gambar tersebut menunjukkan bahwa Ibukota Majapahit berbentuk grid yang terpisahkan oleh kanal-kanal besar. Bukti tersebut dapat dilihat dengan situasi beberapa candi yang memiliki arah geser mata angin yang sama walau jaraknya berkilo-kilo meter. Kesamaan arah tersebut menunjukkan bahwa percandian pada masa itu telah ditata dengan sistem grid.

Setiap candi dan situs lain menunjukkan posisi tata guna lahan yang cukup jelas. Candi Wringin Lawang yang dahulunya dinamakan Candi Jati Pasar merupakan sebuah gapura dari pasar yang ramai. Kolam segaran, balong bunder dan balong dowo merupakan reservoir. Candi kedaton merupakan fasilitas bagi permukiman inti kerajaan. Candi tikus adalah tempat pemandian bagi para bangsawan kerajaan. Seluruh temuan yang ada saat ini dapat dihubungkan menjadi satu kesatuan tatanan kota yang cukup mapan. Bahkan Museum Trowulan sekarang yang berada di dekat situs segaran berdiri di atas situs yang bernama Lapangan Bubat. Beberapa benda temuan kerajaan seperti patung, perhiasan, gerabah, umpak, bagian-bagian candi dan lain-lain telah dipamerkan walau tidak disebutkan di daerah mana benda purbakala tersebut ditemukan. Namun demikian tetap dapat dipahami bahwa Ibukota majapahit adalah wilayah yang sudah tertata rapi.

resize-of-3a1Gambar 3a. Dari atas ke bawah, Foto Udara di Trowulan dari Candi Wringin lawang, Kolam Segaran dan Candi Brahu, memiliki orientasi yang sama dengan pergeseran sekitar 10 derajad dari arah utara. Keserupaan orientasi ini menunjukkan bahwa berbagai fasilitas Ibukota Majapahit telah tertata dengan rapi.

Kanal-kanal yang saling berhubungan memiliki dimensi selebar 120 meter sampai 30 meter dengan kedalaman sekitar 4 meter. Penelitian yang dilakukan telah menunjukkan bahwa kanal ini dibatasi oleh pasangan batu bata yang cukup tebal. Posisi kanal sesuai dengan arah kemiringan situs Segaran yang berupa kolam besar dengan panjang 375 meter dan lebar 175 meter. Dekat dengan kolam ini terdapat kolam alami lain yang berbentuk memanjang dan disebut balong dowo, serta kolam lingkaran yang disebut balong bunder. Penemuan berupa saluran air tertutup yang dihubungkan pipa terakota dapat menjelaskan bahwa sistem pengairan pada saat itu telah dibentuk dengan baik, bahkan dapat dikatakan bahwa ibukota Kerajaan Majapahit pada masa lampau adalah kota air. Sistem transporatasi air telah terbentuk yang berhubungan dengan Sungai Brantas, masyarakat mendapat aliran air bening yang disalurkan secara terorganisir, taman-taman tirta yang indah juga terdapat pada beberapa tempat.

resize-of-3bGambar 3b. Potongan relief dari sebuah candi yang tersimpan di Museum Trowulan menunjukkan tatanan permukiman dengan pola yang sistematis. Bentuk-bentuk bangunan menyerupai arsitektur tradisional di Bali yang dapat dilihat pada miniatur terakota temuan purba di Ibukota kerajaan Majapahit, Trowulan.

Jaringan jalan Ibukota Majapahit yang dikelilingi kanal besar juga berpola grid. Permukiman tertata dengan rapi dikelilingi pagar bata dengan halaman berbentuk segi empat. Pepohonan diatur berderet dengan jenis sama secara berkelompok. Terdapat ruang-ruang luar yang difungsikan sebagai taman lapangan terbuka yang diteduhi pohon rindang, taman sari geometris dan taman yang ditengahnya terdapat balai besar. Bangunan  umum berupa balai dan gazebo dibuat terbuka tanpa dinding, sedang rumah tinggal berdinding rapat dari bahan kayu atau bambu. Bahan atap dari permukiman Majapahit adalah genteng, di mana pada beberapa bagiannya diberi hiasan berukir. Atap lebih banyak yang berbentuk limasan/perisai dan sebagian lagi berbentuk kampung/pelana.

Tatanan Ibukota majapahit menunjukkan bahwa masyarakat pada saat itu sudah berpikir modern. Walaupun dengan teknologi sederhana, namun hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan berusaha diselesaikan secara praktis mekanis. Tradisi pembuatan candi dari batu semenjak Kerajaan Singhasari telah diubah dengan bahan batu bata yang pencarian bahannya lebih mudah. Ukiran realis dengan pahatan yang dalam dan halus telah diperbaiki dengan sistem ekspresionis hampir datar. Manusia Majapahit pada saat itu ebrusaha untuk selalu berpikir kritis mencari kemudahan untuk hidup dan selalu berusaha untuk tidak mengesampingkan tradisi dari para leluhurnya pula. Sebuah kebijaksanaan hidup yang perlu ditiru generasi saat ini.

resize-of-3c1Gambar 3c. Potongan relief dari sebuah candi yang tersimpan di Museum Trowulan menggambarkan keberadaan jalan yang rapi beserta sawah dan kandang-kandang ternak di Ibukota Kerajaan Majapahit.

Kepahaman manusia Majapahit terhadap tradisi dan aturan kasat mata yang dapat memperbaiki nilai kehidupannya membuat kerajaan ini semakin maju dan mencapai puncaknya saat kepemimpinan Prabu Hayamwuruk. Didampingi Mahapatih Gajah Mada, Kerajaan Majapahit dapat menyatukan Nusantara dengan aliansi kerajaan-kerajaan yang tersebar jauh di luar pulau Jawa. Sepeninggal Prabu Hayamwuruk, ketamakan telah menyebabkan raja-raja selanjutnya menyurutkan binar Kerajaan Majapahit. Kerajaan ini kemudian bubar pada tahun 1478, menjelang datangnya penjajah Portugis dan Belanda ke Indonesia. Saat bangsa Indonesia dijajah inilah kesempatan untuk memaksakan pengunggulan budaya Barat menjadi terbuka melalui kolonialisme. Masyarakat Indonesia sudah didoktrin untuk menjadi pelayan bagi bangsa Penjajah yang dikatakan lebih memiliki keunggulan.

Sampai saat inipun doktrin yang sudah berabad-abad tersebut masih berjalan dan susah untuk dikembalikan lagi, susah untuk diingatkan lagi bahwa bangsa kita sendiri sebenarnya memiliki keunggulan tersendiri yang berbeda dengan bangsa Barat. Masyarakat saat ini telah demikian yakin dengan keampuhan sistem kapitalis untuk menyelesaikan berbagai masalah kehidupan. Semangat modernisme nusantara telah luntur dan hanya berbekas pada segelintir orang saja, dan justru sedikit orang inilah yang terlindas oleh modernisme Barat. Penggalian nilai luhur Nusantara untuk bersatu dalam kebhinekaan telah tergeser dengan propaganda keseragaman, sistem ekonomi koperasi Indonesia juga telah tergeser dengan sistem kapitalis, gaya hidup tepa slira juga telah tergeser menjadi gaya hidup glamour. Sudah jelas bahwa bangsa kita akan selalu menjadi pelayan dari sistem Barat, padahal peneliti Barat sendiri bahkan tahu dengan futurologi bahwa semangat untuk berdiri setara dengan budaya Nusantara itulah yang akan membuat Indonesia bisa setara dengan negara-negara lain.

Profesionalisme dalam Merawat Situs Majapahit

Posted in Uncategorized by arsiteknusantara on Maret 7, 2009

Oleh Tjahja Tribinuka, MT

Staff pengajar Jurusan Arsitektur ITS

Diterbitkan di harian Surabaya Post, Minggu 25 Januari 2009

Kebesaran bangunan dari kerajaan Majapahit yang pernah menguasai nusantara pada abad ke 13 sampai saat ini masih banyak tertinggal di daerah Trowulan, Mojokerto. Baik berupa candi maupun artefak lain berusaha dirawat sedemikian rupa hingga generasi berikutnya dapat mempelajari berbagai kelebihan yang telah dimiliki nenek moyangnya. Namun demikian, usaha ini juga perlu disertai dengan profesionalisme yang melibatkan berbagai bidang. Terbukti bahwa arsitek Belanda bernama Henri Mclaine Pont lebih dapat mengungkapkan eksistensi situs majapahit bukan saja menggunakan bidang ilmu arkeologi, namun juga ilmu sastra dari kitab Negara Kertagama. Dalam proses menyibak misteri situs Majapahit yang hasilnya dapat dinikmati di Museum Trowulan saat ini, tentunya dasar ilmu arsitektur yang sudah dimilliki oleh Mclaine Pont secara otomatis juga dilibatkan.

Jika wujud situs tersebut berupa karya arsitektur yang membutuhkan pemikiran kritis tentang langgam dan sistem konstruksi, maka selayaknya pembongkaran dan penyusunannya disesuaikan dengan kaidah konservasi bangunan secara arsitektural pula. Sebagai contoh, penguatan konstruksi dari rumah ‘Falling Water’ karya arsitek Frank Lloyd Wright yang mengharuskan membongkar lantai dilakukan dengan sistem yang amat profesional. Lempengan batu penyusun lantai bahkan diberi nomor dan dipetakan dengan gambar agar dapat dikembalikan sesuai aslinya. Berlainan dengan yang terjadi pada penemuan kerangka manusia di dalam situs Sumur Upas, Trowulan. Pengangkatan kerangka dilakukan tanpa pemetaan yang jelas sehingga ketika diletakkan kembali menjadi sangat berbeda dengan posisi badan kerangka saat ditemukan. Kerangka manusia merupakan obyek sejarah yang berukuran lebih kecil dari lantai ‘Falling Water’, namun penangannya justru malah tidak terpetakan secara otentik.

resize-of-1a

Gambar 1a. Penemuan kerangka manusia di situs Sumur Upas, Trowulan. Terlihat posisi tidur manusia dari kerangka saat awal ditemukan, kemudian dipindah dalam kotak kayu dengan posisi yang sudah berbeda. Saat ini, kerangka tersebut dalam posisi berserak berantakan seperti benda tidak berguna.

Di Trowulan telah ditemukan berbagai gambaran tentang kotaraja Majapahit sebagai kota air dengan adanya Situs Kolam segaran, situs Reservoir Balong Bunder dan Balong Dowo, serta hasil foto udara tahun 1983 yang menemukan jajaran kanal besar. Pengetahuan arsitektur mengenai budaya manusia dalam berkehidupan selayaknya pula dipergunakan untuk membantu kegiatan arkeologi. Sebagai ‘kota air’ tentulah Majapahit memiliki taman-taman tirta. Sebuah kemungkinan keberadaan taman tirta ini justru merujuk pada situs Sumur Upas. Sampai saat ini situs tersebut diduga sebagai pondasi dari sebuah permukiman, namun hal ini masih meragukan karena kedalaman dari pondasi tersebut kurang masuk akal. Situs Sumur Upas yang merupakan tatanan batu bata justru lebih tampak seperti tandon-tandon air yang terbuka. Dugaan ini memang sekarang sudah sulit terlihat, namun jika meninjau keotentikan situs saat ditemukan, justru terdapat batu bata yang berukir di bagian atasnya, jelas tidak mungkin sebuah pondasi rumah yang ditanam di dalam tanah memerlukan ukiran.

resize-of-1b

Gambar 1b. Situs Sumur Upas di trowulan ditemukan dengan bentuk menyerupai jajaran tandon air. Saat ini batu yang berukir sudah dipindah ke museum Trowulan. Beberapa bata yang tercecer ditumpuk tanpa susunan yang sistematis

Dekat dengan situs Sumur Upas, terdapat situs Candi Kedathon. Saat ini Candi Kedaton yang telah ‘dirubah’ dengan perbaikan meratakan lantai bebatur masih menyimpan misteri tentang fungsi situs tersebut.. Keotentikan candi saat ditemukan menunjukkan bahwa lantai candi menyerupai kolam-kolam persegi yang berirama, namun ’perubahan kegiatan arkeologi’ menyebabkan lantai tersebut menjadi rata. Jika dihubungkan dengan pentingnya air bagi kehidupan kerajaan maka dapatlah diduga pula kemungkinan lain bahwa Candi Kedaton tersebut juga sebuah taman tirta. Segenap temuan periuk dan pencetak emas adalah peralatan yang disimpan di taman tirta tersebut.

resize-of-1c

Gambar 1c. Candi Kedhaton di Trowulan ketika ditemukan berupa bebatur dengan lantai berlubang seperti tandon-tandon air. Setelah diperbaiki saat ini, lubang-lubang tersebut tertutup menjadi lantai yang rata.

Sejarah merupakan reka cerita berdasarkan bukti. Ketika bukti itu kuat, maka semakin tepatlah penulisan sejarah tersebut. Sebaliknya semakin kabur akan menyebabkan kesimpang-siuran dan misteri. Ketika bukti sejarah direhabilitasi, selayaknya perubahan itu dijelaskan antara yang asli dan tambahan. Bahkan bukti sejarah bisa saja dibiarkan dan tidak bisa dinikmati secara utuh, hal tersebut justru lebih memiliki kualitas keaslian. Mungkin dengan temuan bukti lain akan membuat reka cerita sejarah itu menjadi semakin benar dan akurat. Profesionalisme arkeologi beserta integrasinya dengan bidang ilmu lain yang berkaitan, akan sangat membantu kualitas penelitian situs bersejarah.